Raja Airlangga

Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI
Ah. Abd. Wahid Ashshiddiq
NIM    : 15407141042
ABSTRAK
Dinasti Isana adalah dinasti yang menjadi penerus kerajaan Mataram Kuno yang terletak di Jawa Timur. Dari dinasti inilah kemudian lahir seorang raja yang paling terkenal di zamannya yang bernama Airlangga. Ia adalah seorang raja terbesar yang mendirikan kerajaan Medang yang pusat kerajaannya berada di sekitar Surabaya bagian selatan saat ini. Pada masa kekuasaannya raja Airlangga telah membangun setidaknya 33 prasasti sebagai bukti sejarah yang diinterpretasikan oleh para sejarawan sebagai bentuk legitimasi kekuasaan raja Airlangga di daerah kekuasaannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk mencaritahu dan menjelaskan tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pada masa pemerintahan raja Airlangga serta capaian-capaian yang dilakukan olehnya pada masa dinasti Isana.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metodologi sejarah meliputi: Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Penulisan Sejarah. Heuristik merupakan proses pengumpulan sumber sejarah. Kritik Sumber berguna untuk menentukan keotentikan sumber. Interpretasi adalah penafsiran dari sumber-sumber tersebut. Dan penulisan sejarah adalah proses merangkai peristiwa sejarah.
Penulisan ini mendapat kesimpulan bahwa pada masa pemerintahan raja Airlangga, ia telah melakukan beberapa capaian dalam beberapa bidang. Dalam bidang politik, raja Airlangga telah mampu mengembalikan wilayah raja sebelumnya bahkan mampu menguasai sebagian besar wilayah Jawa. Dalam bidang sosial, raja Airlangga menggunakan hak-hak istimewanya sebagai raja seperti pemberian gelar dan hadiah serta pembangunan prasasti di setiap momen penting sebagai cara melegitimasi kekuasaannya. Dalam bidang ekonomi, raja Airlangga menggunakan sistem pajak yang terukur guna mengatur perdagangan di wilayah kekuasaannya.
A.  Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
Sumber sejarah yang dapat diketahui berkenaan dengan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur adalah dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sindok, yaitu antara lain prasasti Turyyan (929 M), prasasti Gulung-Gulung (929 M), prasasti Linggasuntan (929 M) , prasasti Cunggrang (929 M) prasasti Jeru-Jeru (930 M) prasasti Wulig (935 M), prasasti Anjukladang (937 M), prasati Paradah (943 M), prasasti Muncang (944 M), serta masih banyak lagi hingga sekitar 20 buah prasasti.
Dari beberapa fakta sejarah Indonesia Kuno mengisyaratkan bahwa perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dilakukan pada sekitar perempat pertama abad X. timbul berbagai teori kemungkinan alasan perpindahan istana Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timut. Boechari memaparkan teori-teori pendahulunya, sebagai berikut:
a)    N.J. Krom: perpindahan pusat kerajaan tersebut terjadi pada kurun perempat awal abad X, dengan alasan yang tidak begitu jelas.
b)   B. Schrieke: yang menjadi penyebab kenapa pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur adalah karena pembangunan Candi Borobudur yang menghabiskan seluruhkejayaan kerajaan waktu itu yang sedand jaya-jayanya. Pembangunan Borobudur menyita banyak tenaga dari rakyat Mataram dan meninggalkan pekerjaan seperti bertani, berdagang dan aktivitas yang lainnya sehingga terjadilah migrasi missal ke Jawa Timur.
c)    J.G. de Casparis : akibat dari kemajuan perdagangan di Arab pada abad IX, terdapat perdagangan internasional di wilayah Nusantara. Yang meliputi bagian timur Indonesia yang berkomoditi rempah-rempah dan kayu cendana dan Jawa Timur penghasil pertanian mereka melakukan perdagangan dengan para saudagar asing dari Arab, Cina, India yang membuat wilayah Jawa Timur semakin makmur. Kekhawatiran Sriwijaya yang melihat kerajaan di Jawa TImur bisa menguasai kongsi perdagangan internasional dan memonopolinya membuat Sriwijaya melakukan penyerangan di Jawa 925 M, Sriwijaya mendarat di Jawa Timur dan bergerak sampai di Nganjuk, tetapi berhasil dipukul mundur oleh Pu Sindok dalam Prasasti Anjukladang 859 S/937 M. selain itu karena kemajuan perdagangan di Jawa Timur Raja Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa member perhatian khusus pada Jawa Timur, dank arena ancama Sriwijaya pusat pemerintahan di tarik ke Jawa Timur.
d)   R.W. van Bemmelen: seorang ahli geologu mengindikasikan erupsi gunung Merapi di masa lalu membuat gempa dan hujan abu serta banjir lava, maka dipastikan di sekitar Merapi khususnya bagian barat dan selatan gunung hancur dan tertutup abu yang tebal. Van Bemmelen menghubungkan meletusnya gunung itu disebut pralaya, hancurnya kerajaag Teguh pada 1016 yang tersebut pada prasasti Pucangan. Jika benar Istana Mataram telah pindah ke delta brantas waktu itu, kemungkinan kecil Mataram tidak terpengaruh oleh letusan tersebut. Butuh data yang pasti untuk memastikan bencana tersebut jika menunjukkan sekitar perempat abad X sampai XI, kita bisa yakin erpindahan kekuasaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar 929 akibat letusan gunung Merapi.
e)    M. Boechari: perpindahan pusat kerajaan bagi sebuah kerajaan di Jawa pada masa lampau kiranya merupakan hal yang biasa terjadi. Kondisi semacam ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai terhadap adanya siklus dalam kehidupan ini. Keempat siklus tersebut adalah:
-       Kretayuga (zaman emas)
-       Tretayuga (zaman perak)
-       Dwaparayuga (zaman perunggu)
-       Kaliyuga (zaman besi)
Zaman Kaliyuga atau zaman besi is=dentik dengan zaman kehancuran, kekacauan, kemerosotan, dan sejenisnya. Kepercayaan tentang siklus inilah yang pada umumnya setelah terjadi malapetaka, maka istana baru harus segera dibangun. Untuk membangun istana baru tersebut tentunya tidak berada di istana lama. Istana lama dianggap sudah teraduk dengan kekacauan. Oleh karenanya dicaru sebuah mandala yang baru, pengakuan adana gunung suci yang baru, serta membangun candi istana yang baru sebagai tiruan dari Gunung Meru. Dari sebab itulah perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur hanya dapat dipahami apabila memang disebabkan oleh kejadian yang luar biasa. Yang menurut kepercayaan Jawa dipandang sebagai isyarat dewa yang mengharuskan sebuah pemerintahan untuk berakhir. Hal tersebut tidak ada pilihan lain bahwa itu adalah suatu bencana yang besar, semacam gempa bumi atau letusan gunung berapi, atau peristiwa yang dahsyat lainnya (Boechari, 1976).[1]
B.  Silsilah Airlangga
Menurut silsilah yang dibuatnya, Airlangga adalah keturunan Raja Pu Sindok, pendiri Dinasti Iśana yang memerintah Kerajaan Matarm Kuno di Jawa pda 929-948M, walaupun bukan keturunan langsung. Anank perempuan Pu Sindok, yaitu Sri Isanatunggawijaya menikah degan Sri Lokapala dan mempunyai anak Sri Makutawangsawardhana, kemudian Sri Makutawangsawardhana mempunyai anak Gunapriyadharmmapatni atau Mahendradatta yang menikah dengan Dharmmodayana, putra mahkota Dinasti Warmadewa dari Bali dan mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu. Pada usia 16 tahun ia dikirim ke Jawa untuk menikah dengan putrid Raja Dharmmawangsa Tguh. Bagian Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta menyebutkan bahwa tidak lama sesudah perayaan pernikahan Airlangga dengan putri raja, ibukota kerajaan diserbu oleh raja bawahan bernama Wurawari sehingga istana hancur. Putri bersama Dharmmawangsa Tguh meninggal dalam peperangan. Peristiwa ini disebut sebagai pralaya yang terjadi pada 1016.[2]
Airlangga berhasil lolos dari pembunuhan dan lari ke hutan bersama hambanya Narottama. Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno menyebutkan bahwa pada waktu serangan itu terjadi, Airlangga masih sangat muda dan belum berpengalaman dalam peperangan serta menggunakan alat-alat senjata. Tetapi karena penjelmaan Wisnu, maka ia tidak bisa binasa oleh kekuasaan mahapralaya. Airlangga tinggal di hutan di lereng gunung berteman dengan para pendeta yang suci kelakuannya dan seorang hamba setia, Narottama,. Selama tinggal di pertapaan itu ia hidup seperti layaknya para pertapa tersebut, memakai pakaian kulit kayu dan makan apa saja yang dimakan oleh pendeta.
Selama tinggal di hutan, Airlangga tidak pernah melupakan pemujaan kepada dewa-dewa siang dan malam. Sebab itu para dewa sangat besar cinta kasih kepadanya. Mereka berharap  agar ia memperoleh pohon keinginan untuk melindungi dunia, memperbaiki semua bangunan suci dan menghancurkan semua kekuatan jahat di dunia (Soemadio (ed), 1984: 176).
Pada 1019 (941 Saka) Airlangga direstui oleh para pendeta dan rakyat untuk menduduki tahta menjadi raja. Pada waktu itu kerajaannya berada dalam keadaan memprihatinkan, yaitu berjalan tanpa pemimpin dan mengalami krisis kepercayaan dari kerajaan-kerajaan bawahannya serta terancam perpecahan. Sebab itu, Airlangga sangat diharapkan dapat memperbaiki keadaan tersebut.
C.  Sistem Politik Masa Airlangga
Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa tampaknya telah menyerap konsep-konsep kekuasaan yang diciptakan berdasarkan falsafah Hindu dan Buddha pada awal keberadaannya. Penerapan konsep politik tersebut telah dijumpai di banyak Prasasti Jawa Kuno, baik ungkapan tersirat maupun tersurat. Para ahli berpendapat bahwa meskipun masyarakat Jawa telah menyerap falsafah Hindu dan Buddha pada awal perkembangannya, pada tahap perkembangan di kemudian hari telah dilakukan penyempurnaan sedemikian rupa sesuai dengan epercayaan asli dan kebudayaan setempat hingga menjadi suatu konsep mengenai kekuasaan tradisional Jawa[3]
Seluruh masa pemerintahan Raja Airlangga dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu masa konsolidasi, keemasan dan akhir pemerintahan. Sesuia dengan isi Prasasti Pucangan yang berbahasa Sansekerta 1037 (959 Saka), pada 1019 (941 Saka) adalah saat Airlangga mendapat restu dari pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana untuk menduduki tahta menjadi raja menggantikan Raja Dharmmawangsa Tguh yang tewas di dalam peperangan melawan serangan Raja Wurawari[4].
Dalam membangun kembali kerajaan Dharmmawangsa Teguh yang sudah hancur, Airlangga terpaksa memerangi daerah-daerah yang pernah menjadi kekuasaan ayahnya. Pada mulanya, daerah kekuasaannya terbatas pada sebuah wilayah terbatas yang berlokasi di antara Surabaya dan Pasuruan. Pada 1022 M, ayah Airlangga meninggal di Bali dan saudaranya, Marakata, mewarisi wilayah Bali. Marakata yang meninggal pada 1025 M, digantikan oleh Anak Wungsu.
Selama satu decade ke depan, Airlangga perlahan meluaskan wilayahnya dengan harus mencaplok tetangga-tetangganya, memintaljala-jala kekuasaannya di Jawa Timur, dan membagi serta menetralkan para penantangnya satu persatu. Pada 1025 kesabarannya berbuah dengan dihancurkannya Sriwijaya oleh Rajendra Chola. Kesuksesan aksi militer yang tak terduga itu serta tertangkapnya Maharaja SriwijayaSangramaviyottunggavarman, yang kemudian dibawa ke India sebagai tawanan, telah membuat Airlangga mendapat keuntungan dengan hilangnya sebuah calon penentang yang sangat potensial.
Mengambil keuntungan dari suasana politik yang baru ini, Airlangga memulai aksi militernya pada 1028 M. Target pertamanya adalah Rakai Bhismaprabhava, yang ditaklukkannya dengan muslihat. Pada 1030 M, dia telah cukup kuat untuk menyerang Vijaya, Raja Wengket, namun kemenangan tidak sempurna. Pada 1031, dia mengalahkan seorang tuan tanah yang bernama Adhamapaduna seta membakar Kratonnya. Pada 1032 M, dia menantang seorang Ratu yang mendominasi Selatan Jawa. Prasasti Kalkuta menerangkan dalam bahasanya yang puitis bahwa selama masa aksi militer itu:
… dia membinasakan dan membakar Jawa Selatan dengan lidahnya bagai seekor ular api…
Pada 1035 M, untuk kedua kalinya dia mengalahkan Vijaya, yang dieksekusi oleh para punggawanya sendiri (boleh jadi mereka telah disuap untuk melakukannya).
Tak ada yang disebutkan tentang nasib dari Wunawari, meskipun prasasti itu menerangkan bahwa pada 1037 M, para musuh Airlangga telah ditundukkan melalui perang dan dengan muslihat. Diterangkan di prasati yang lain yang berasal dari Candi Pucangan bahwa:
… berjalan di atas kepala para musuhnya, dia mengambil tempat di tahta Singa, ditaburi dengan permata…[5]
D.    Sistem Sosial Masa Airlangga
Masyarakat Jawa Kuno telah mengenal adanya sistem kasta yang dikenal dalam agama Hindu, namun sistem tersebut tidak diberlakukan secara ketat, bahkan bisa dianggap sebagai hiasan teoritis dalam literature istana (De Casparis, 1985; Kartodirdjo, 1993;39). Kenyataan yang dijumpai di dalam masyarakat adalah mobilitas antar lapisan terjadi sedemikian rupa sehingga batas antara penguasa dan yang dikuasai, antar golongan sekuler dan golongan religius, antara golongan bebas dan budak-budak dapat ditembus[6].
Pada masa pemerintahan Raja Airlangga, disebut di dalam Prasasti Terep 1032 (954 Saka), bahwa raja telah memberi anugrah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong. Ia adalah seorang bangsawan daerah yang sangat berjasa membantu raja pada saat peperangan melawan musuh. Ia terus menerus melakukan doa kepada Bhatari untuk mohon kemenangan untuk raja. Untuk kesetiaannya itu, raja menghadiahkan gelar halu kepadanya, yaitu gelar tertinggi di struktur pemerintahan di bawah putra mahkota. Seorang lagi yang memperoleh hak istimewa adalam\h Narottama. Yaitu seorang hamba yang setia terhadap raja Airlangga sejak peristiwa Pralaya. Oleh sebab kesetiaannya Airlangga memberinya gelar Rakai Kanuruhan.
Hak istimewa yang dianugerahkan oleh raja karena suatu alasan tertentu dapat berbentuk macam-macam, kecuali bentuk penganugerahan gelar seperti yang dialami Rakryan Pangkaja Dyah Tumambong dan Rakai Kanuruhan Pu Dharmmamurtti Narottama. Hak-hak istimewa dapat berupa gaya hidup, misalnya diperbolehkan memakai jenis-jenis pakaian atau perhiasan tertentu, melakukan kegiatan-kegiatan tertentudi depan umum, memiliki rumah dengan cirri-ciri tertentu, memakan makanan istimewa, memiliki tempat duduk, balai-balai, paying dan lain-lain yang istimewa (Sedyawati, 1994; 297-301)
E.     Sistem Ekonomi Masa Airlangga
Lima Prasasti, yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga, memberikan keterangan mengenai kegiatan perekonomian yang tersurat di dalm bagian prasasti yang memuat ketentuan pajak perdagangan setelah suatu daerah dijadikan Sima. Hal ini dapat menjelaskan pada kita mengenai jenis-jenis barang yang diperdagangkan, pelaku ekonomi dan sarana yang ada pada masa tersebut.
Di dalam prasasti Cane 1021 (943 Saka) disebutkan bahwa setelah daerah Cane dan sekitarnya dikjadikan Sima, maka mendapat pembebasan pajak perdaganagan diantaranya adalah
1. penjualan kerbau sampai sebatas 20 ekor
2. penjualan sapi atau kebau sampai sebatas 40 ekor
3. penjualan kambing sampai sebatas 80 ekor
4. Penjualan bebek sampai sebatas sekandang (Sawantayan)
5. barang-barang dagangan yang dijajakn dengan dipikul yaitu tidak boleh lebih dari lima bantalan setiap jenis barang yakni:
-          Abasanan
-          Atukel
-          Manunjai
-          Manawari
-          Makapas(penjual kapas)
-          Mawunkudu(penjual mengkudu)
-          Abalanten
-          Penjual timah
-          Penjual perunggu
-          Penjual eceran (abakul)
-          Amankur
-          Penjual gula
-          Penjual sereh
-          Penjual beras
-          Penjual warna (kasumbha)
Prasasti Baru menyebutkan ketentuan yang agak berbeda, yaitu pejabat Desa Baru berhak berdagang sebanyak-banyaknya dua orang untuk setiap jenis dagangan serta berhak mempunyai budak berupa dayan, hunjman, nimbi, jengi pujut dan semua jenis lainnya. Prasasti Gandhakuti lebih singkat dan tegas menjelaskannya yaitu memborong (Anulan) sapi, kerbau dan kambing hanya sebatas satu koordinatot (Tuhan) saja. Demikian pula pedagang yang berdagang dengan perahu, para pandai, tukang kayu dan amalanten hanya sebatas satu tuhan saja[7].



[1] Suwardono,  Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, (Yogyakarta: Penerbit OMBAK, 2013) Hal. 117
[2] Ninie Susanti, AIRLANGGA Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI, (Bandung: Komunitas Bambu, 2010), hal. 3
[3] Nini Susanti Julianto, Indonesia dalam Arus Sejarah II, (Jakarta: PT Ichtiar  Baru Van Hoeve, 2012) Hal.194
[4] Ninie Susanti, Airlangga Biografi Pembaru Jawa Abad XI, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010) Hal. 85
[5] Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009) Hal. 348
[6] Op., Cit., Hal. 119
[7] Ibid., Hal. 114

0 komentar:

Posting Komentar