Kerajaan Pertama di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
   Masuknya agama Hindu-Budha ke Nusantara melalui jalur perdagangan yang melewati selat malaka hingga laut China selatan. Jalur perdagangan tersebut telah ada sejak abad-1 Masehi yang berlangsung antara bangsa India dan China. Jalur perdagangan tersebut telah mengembangkan peradaban tidak hanya pada negara India-China namun juga pada negara yang dilalui jalur tersebut yaitu Nusantara.
Perkembangan peradaban di India yang menimbulkan agama Hindu-Budha telah berdampak pada peradaban di Nusantara. Akibat dari agama tersebut maka mulailah muncul kerajaan-kerajaan  bercorak Hindu-Budha di beberapa tempat di seluruh Nusantara.
Melalui bukti-bukti artefak yang telah ditemukan maka disimpulkan bahwa kerajaan pertama yang ada di Nusantara adalah kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur. Kerajaan ini menjadi model pertama kerajaan Hindu yang selanjutnya akan menjadi contoh bagi pengembangan kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara. Setelah kerajaan Kutai runtuh tampuk kekuasaan kemudian berpindah pada kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kerajaan ini juga menjadi kerajaan perintis pertama di sepanjang pulau Jawa yang kemudian akan menjadi pulau paling banyak kerajaan di kemudian hari.
B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah latar belakang berdirinya kerajaan Kutai dan Tarumanegara?
2.    Bagaimanakah sistem sosial yang ada pada kerajaan Kutai dan Tarumanegara?
3.    Bagaimana perekonomian yang ada pada kerajaan Kutai dan Tarumanegara?
4.    Bagaimana sistem politik yang berlangsung di kerajaan Kutai dan Tarumanegara?



BAB II
Kerajaan Kutai dan Tarumanagara
1.      Kerajaan Kutai
a)      Sejarah Berdirinya Kerajaan
Sejarah berdirinya sebuah kerajaan seringkali dikarenakan oleh faktor ekonomi. Begitu juga dengan berdirinya sebuah kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan pertama yang ada di Nusantara. Letak kepulauan Indonesia yang berada di tengah-tengah jalur sutra antara India ke Cina dan juga kesuburan tanahnya, menyebabkan wilayah Indonesia menjadi jalur favorit bagi pelayaran bangsa India dan China.
Di daerah Kalimantan Timur, tepatnya di daerah Kutai pernah ada sebuah kerajaan. Kerajaan itu merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang sudah mengenal tulisan. Artinya, sejak saat itu nusantara mulai memasuki masa sejarah. kerajaan Kutai ada setelah penduduk nusantara mengadakan hubungan dagang dengan India dan China. Hubungan dagang itu sudah berlangsung sejak abad pertama.
Adanya kerajaan ini dibuktikan dengan ditemukannya tujuh buah prasasti berbentuk Yupa, yaitu tugu peringatan upacara kurban. Prasasti ini bertulisan huruf Pallawa, yang menurut bentuk dan jenisnya berasal dari tahun 400M. Prasasti ini menggunakan bahasa Sansekerta, tersusun dalam bentuk syair. Salah satu prasasti Yupa itu memuat silsilah Mulawarman, raja dari daerah Kutai, yang berbunyi :
1.      Srimatah sri-narendrasya.
2.      Kundungasya mahatmanah
3.      Putro’svavarmmo vikhayatah
4.      Vansakartta yathansuman,
5.      Tasya putra mahatmanah
6.      Trayas traya ivagnayah
7.      Tesan trayanam pravarah
8.      Tapo-bala-damanvitah
9.      Sri mulavarmma rajendro
10.  Yastva bahusuvarannakam
11.  Tasya yajnasya yupo’yam
12.  Dvijendrais samprakalpitah
“Sang Maharaja Kudungga, yang amal mulia, mempunyai putra yang masyur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Angsuman (Dewa Matahari) menumbuhakan keluarga yang mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemukan dari tiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan) yang dinamakan Emas-amat-banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.”    
Dari yupa itu dapat diketahui bahwa raja Mulawarman mempunyai seorang ayah bernama Aswawarman yang dianggap sebagai pendiri dinasti (vansakarrta), seorang kakek yang bernama Kudungga, dan dua orang saudara. Keterangan yang menarik dari yupa ini adalah bahwa pendiri dinasti bukan Kudungga kakek Mulawarman, melainkan Aswawarman, ayahnya. Kenyataan itu menyebabkan timbul beberapa pendapat mengenai tokoh Kudungga itu. Poerbatjaraka misalnya menduga bahwa Kudungga adalah penduduk asli, karena nama Kudungga bukan nama Hindu dan belum menganut agama Hindu. Berbada halnya dengan Aswawarman yang merupakan nama Hindu. Oleh karena itu, Aswawarmanlah yang dianggap sebagai pendiri dinasti.
b)     Sistem Sosial
Dalam prasasti yupa yang di temukan di sekitar Kalimantan timur berbunyi:
1.      Srimato nrpamukhyasya,
2.      Rajnah sri-mulavarmmanah,
3.      Dhanam punyatame ksetre,
4.      Yad dattarn vaprakesvare,
5.      Dvijatibhyo’ gnikalpebhyah,
6.      Vinsatir ggosahasrikam,
7.      Tansya punyasya yupo’yam,
8.      Krto viprair ihagataih.
“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemukan, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara. Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja, tugu ini dibikin oleh para brahmana yang datang di tempat itu.”
Yupa tersebut telah menyebutkan bahwa prasasti yupa ini dikeluarkan para pendeta yang datang ke daerah itu (yupo’yam krto viprair ihagataih) sebagai peringatan atas kemurahan hati raja Mulawarman yang memberikan hadiah sapi sebanyak 20.000 ekor (vinsatir ggo sahasrikam) kepada para brahmana. Dari hasil pengartian ini juga dapat diinterpretasikan bahwa kehidupan sosial yang terjadi pada kerajaan Kutai amatlah erat kaitannya dengan agama Hindu yaitu sistem kasta yang banyak ditemui di India.
c)      Sistem Politik
Kerajaan Kutai sebagaimana kebanyakan bentuk kerajaan di seluruh Nusantara memiliki sistem politik keturunan yang berarti raja tidak dipilih oleh rakyat tetapi raja adalah merupakan keturunan dari raja sebelumnya. Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Dari Yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (kutai Martadipura) berbeda dengan kerajaan Kuati Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah yang di tahun 1365 disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama.
Adapun nama-nama raja Kutai hingga masa keruntuhannya adalah:
1)      Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman
2)      Maharaja Asmawarman
3)      Maharaja Mulawarman
4)      Maharaja Marawijaya Warman
5)      Maharaja Gajayana Warman
6)      Maharaja Tungga Warman
7)      Maharaja Jayanaga Warman
8)      Maharaja Nalasinga Warman
9)      Maharaja Nala Parana Warman
10)  Maharaja Gadingga Warman Dewa
11)  Maharaja Indra Warman Dewa
12)  Maharaja Sangga Warman Dewa
13)  Maharaja candra Warman
14)  Maharaja Sri Langka Dewa
15)  Maharaja Guna Parana Dewa
16)  Maharaja Wijaya Warman
17)  Maharaja Sri Aji Dewa
18)  Maharaja Mulia Putera
19)  Maharaja Nala Pandita
20)  Maharaja Indra Paruta Dewa
21)  Maharaja Dharma Setia
2.      Kerajaan Tarumanegara
A.    Sejarah Berdirinya Kerajaan
Sejarah kerajaan Taruma (Tarumanagara) sebagai sebuah kerajaan tertua di Jawa hingga kini masih belum tersusun lengkap, karena sumber sejarah yang berasal dari kerajaan ini yang sampai kepada kita sangat terbatas, dan bertumpu pada beberapa berita cina yang masih samar-samar. Demikian juga sejarah dari Barat, sperti kitab Periplous tes Erythras Thalasess dan  Geographike Hypegesis yang berasal dari penulis Yunani Mesir. Kemunculan kerajaan Tarumanagara dalam arena sejarah nusantara membuka babak baru kehidupan sosial budaya yang bercorak Hindu-Budha, khususnya di bagian barat Pulau Jawa. Dari sumber-sumber tersebut dapat diperkirakan kerajaan Tarumanagara berkembang pada abad V-VII. Berdasar tempat temuan inskripsi dan peniggalan arkeolog lainnya yang dapat di identifikasikan sebagai peninggalan dari masa kerajaan Tarmuanagara, dapat diduga kerajaan ini memiliki wilayah yang luasnya meliputi sebagian besar Jawa bagian barat.
Sumber tertua yang dianggap menyebutkan kawasan Asia Tenggara ialah berita dari kitab Periplous tes Erythras Thalasess, sebuah kitab pelayaran di lautan Samudra Hindia, yang ditulis pada awal abad masehi. Kitab ini menyebutkan nama sebuah tempat di jalur pelayaran daerah timur yaitu, Chryse (Khruse) yang berarti emas. Didalam kitab ini disebutkan nama-nama tempat, seperti Argyre Chora (Negeri Perak), Chryse Chora (Negeri Emas), Chryse Chersonesos (Semenanjung Emas), dan Iabadiou (Pulau Jelai). Nama-nama tempat tersebut, terutama Iabadiou mengingatkan kita pada nama pulau Jawa, yang dalam Sansekerta dan Jawa Kuno disebut Jawadwipa (Yawa-Dwipa). Nama Argyre oleh O.W.Wolters dihubungkan dengan toponim dalam sumber China, yaitu Ko-ying yang merupakan sebuah tempat perdagangan Internasional di Jawa Barat. Ko-ying kemudian diidentifikasikan oleh Wolters sebagai Kawang atau Karawang di Jawa Barat. Berita china yang berasal dari Fa-Hsien berupa laporan perjalanannya yang ditulis pada tahun 414, berjudul  Fo-kuo-chi. Dalam buku ini dikisahkan perjalan Fa-Hisen dari China ke India mengunjungi beberapa tempat suci agama Budha, dan perjalan kembalinya melalui Sailan (Ceylon-kini Sri Lanka). Diceritakan pula keadaan di Ya-wa-di, tempat ia tinggal selama empat bulan setelah kapal yang ditumpanginya mendapat kerusakan dan terdapamr di Ya-Wa-di. W.P.Groenevelt menghubungkan Ya-Wa-di ini dengan Ya-Wa-da, yang didalam sejarah dinasti Tsung deisbutkan bahwa rajanya bernama S’ri pa-da-do-a-la-pa-mo pada tahun 435 mengirim utusan ke China. G.P. Rouffaer dan J.L. Moens menghubungkan Ya-wa-da ini dengan Yawadwi (pa), pulau Jawa dan mengidentifikaskannya dengan kerajaan yang dalam berita China dari zaman dinasti Soui (abad VI) dan dinasti Tang (abad VII) disebut Tolomo, sedangkan S’ri-pa-da-do-a-la-pa-mo di identifikasikan dengan Sri Paduka Purnawarman.
Dari beberapa keterangan di atas didapatkan kesimpulan bahwasanya berdirinya kerajaan Tarumanagara disebabkan oleh jalur perdagangan antara India dan China. Meski raja Purnawarman tidak disebutkan bahwa ia adalah keturunan India maupun China namun dapat di ketahui bahwa kerajaan Tarumanagara ini telah menganut agama Budha dengan sistem perkekonomiannya adalah perdagangan.
Bukti-bukti dari adanya kerajaan ini kebanyakan diketahui dari inskripsi yang ditemukan di beberapa daerah di Jawa Barat terhitung tujuh inskripsi yang telah ditemukan namun hanya lima buah yang dapat di baca dan diketahui isinya. Kelima inskripsi ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Ketujuh buah inskripsi tersebut adalah :
A.    Prasasti Tugu
Inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman ini ditemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu, dekat Tanjung Priuk Jakarta. Dituliskan dalam lima baris tulisan beraksara Pallawa dan bahasa Sansekerta.
B.     Prasasti Ciaruteun
Inskripsi ini ditemukan di Kampung Muara, desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Inskripsi ini terdiri atas dua bagian, Yaitu Inskripsi A yang dipahatkan dalam empat baris tulisan beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta, dan Inskripsi B yang terdiri dari satu baris tulisan belum dapat dibaca dengan jelas. Inskripsi ini disertai pula dengan gambar sepasang telapak kaki.
C.     Prasasti Kebon Kopi I
Inskripsi ini ditemukan kamoung Muara, desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasrtinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajath.
D.    Prasasti Muara Cianten
Inskripsi ini terletak di Muara Kali Cianten, kampung Muara, desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Inskripsi ini belum dapat dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para ahli disebut aksara ikal, bentuknya mirip dengan aksara inskripsi B.
                   E. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)
Inskripsi ini terletak di sebuah bukit (pasir) Kolengkak, Desa Parakamuncang, Nanggung, Bogor. Inskripsinya dituliskan dalam dua baris tulisan dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.
F. Prasasti Cidanghiang (Lebak)
Inskripsi ini terdapat di tepi Kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul, Banten Selatan. Dituliskan dalam dua baris tulisan beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.
G. Prasasti Pasir Awi
Inskripsi ini terdapat di sebuah bukit bernama Pasir Awi, di kawasan perbukitan Desa Sukamakmur, Jonggol, Bogor. Inskripsi ini tidak dpat dibaca karena inskripsi ini lebih berupa gambar (piktograf) daripada tulisan. Di bagian atas inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.
B.     Sistem Sosial
Sistem sosial yang dianut masyarakat Tarumanegara banyak dipengaruhi oleh agama Buddha yang dianut pada masa itu. Seorang raja menjadi panutan dalam agama masyarakatnya dan titahnya adalah mutlak. Terbukti dari penafsiran Prasasti Tugu yang mengisahkan bahwa raja Purnawarman menitahkan kepada rakyatnya untuk menggali kali yang bernama Gomati. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal 8 paro-petang Phalguna dan disudahi pada hari tanggal 13 paro-terang bulan Caitra, jadi hanya 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6122 tumbak. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1.000 ekor sapi yang dihadiahkan.
Selain sistem sosial yang berkembang pada masyarakat dalam negerinya Kerajaan Tarumanegara juga mengembangkan hubungan dengan luar negerinya. Menurut berita Cina, seorang jemaah Buddha, bernama Fahien dari negara Cina pada tahun 400 M berangkata dari negerinya menuju India. setlah ia lama di India, pada tahun 414 M ia kembali ke negerinya melewati Srilanka (Ceylon) akan tetapi setelah ia berlayar selama 19 hari, kapalnya terdampar di sebuah pulau yang disebut Ya-va-di. Di negara yang disinggahinya banyak dijumpai kaum Brahmana dan para pemeluk agama lain yang ia sebut “murtad” (heretic). Agama Buddha sendiri menurut Fahien sangat sedikit pemeluknya.
Menurut sumber berita yang lain pernah seorang putra raja Kashmir yang menjadi pendeta Buddha bersama Gunawarman datang ke negeri Chopo (tanah Jawa). Di daerah ini ia mengajarkan agama Buddha Hinayana mazhab Mulasarwastiwadanikaya, hingga ajaran ini menjadi terkenal dan menyebar. Aliran Hinayana menjadi satu-satunya aliran agama Buddha yang dianut di pulau Jawa pada saat itu.  
C.    Sistem Ekonomi
Dalam beberapa sumber yang didapatkan mengenai kerajaan tarumanegara didapatkan sedikit keterangan tentang kehidupan ekonomi dalam kerajaan ini. Sedikit informasi mengenai perdagangan dan ekonomi di Tarumanegara yang diperoleh adalah dari berita Cina. Dalam berita Cina zaman Dinasti Sung (420-479) disebutkan adanya sebuah perdagangan yaitu Ko-ying yang diidentifikasikan oleh O.W. Wolters dengan Karawang yang terletak di pantai utara Jawa Barat. Jika kita dapat menerima dugaan yang dikemukakan tersebut, maka pada masa perkembangannya Tarumanagara telah memiliki pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Sebuah berita Cina yang lain dari zaman Diasti T’ang (618-906) menambahkan pula pemberitaan tentang adanya barang dagangan yang berasal dari Jawa, berupa kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah, bahkan disebutkan bahwa penduduknya telah pandai membuat minuman keras yang dibuat dari bunga kelapa. Di dalam prasasti Tugu dari Raja Purnawarman disebutkan adanya persembahan berupa 1.000 ekor sapi. Dari berita tersebut dapat disimpulkan dalam kerajaan Tarumanagara telah berkembang kegiatan pelayaran, perdagangan, perburuan, peternakan, dan penambangan yang dilakukan masyarakatnya.
D.    Sistem Politik
Taruma adalah sebuah kerajaan, atau sebuah negara yang berbentuk kerajaan. Bentuk negara ini dapat diketahui dari gelara yang dipakai oleh Purnawarman, yakni menurut Prasasti Tugu, Rajadhiraja dan menurut prasasti Cidangiang dengan sebutan Panji dari segala raja. Dari kedua prasasti tersebut jelas pemakaiannnya, bahwa Purnawarman bukan hanya sekedar seorang raja, melainkan juga seorang yang bergelara rajadhiraja. Artinya bahwa Purnawarman selain sebagai raja negara Taruma, juga mempunyai daerah-daerha bawahan atau Taruma sendiri merupakan negara federasi di mana negara-negara anggota dipandang sebagai negara kawan. Tentang siapa-siapa yang menjadi negara kawan itu tidak disebutkan.
Kekuasaan Tarumanegara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanegara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanegara.
Dari naskah Wangsakerta didapatkan nama raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Tarumanegara sebagai berikut:
1)      Jayasingawarman (358-382)
2)      Dharmayawarman (382-395)
3)      Purnawarman (395-434)
4)      Wisnuwarman (434-455)
5)      Indrawarman (455-515)
6)      Canrawarman (515-535)
7)      Suryawarman (535-561)
8)      Kertawarman (561-628)
9)      Sudhawarman (628-639)
10)  Hariwangsawarman (639-640)
11)  Nagajayawarman (640-666)
12)  Linggawarman (666-669)
DAFTAR PUSTAKA


Mukhlis Paeni. Sejarah Kebudayaan Indonesia sistem sosial. 2009. Jakarta: Rajawali Pers.
Sarjono M., Dkk. ATLAS KERAJAAN-KERAJAAN NUSANTARA. Jakarta: SIRNABAYA MANDIRANCAN
Drs. Anwar Soetoen. Kutai Perbendaharaan Kebudayaan KALTIM. 1979. Jakarta: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
---------. SEJARAH DAERAH JAWA BARAT. 1981. Jakarta: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DR. R. Soekmono. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. 1973. Yogyakarta: Penerbit KANISIUS
Prof. Dr. AM. Djuliati Suroyo., Dkk. Indonesia Dalam Arus Sejarah. 2012. Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE


Raja Airlangga

Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI
Ah. Abd. Wahid Ashshiddiq
NIM    : 15407141042
ABSTRAK
Dinasti Isana adalah dinasti yang menjadi penerus kerajaan Mataram Kuno yang terletak di Jawa Timur. Dari dinasti inilah kemudian lahir seorang raja yang paling terkenal di zamannya yang bernama Airlangga. Ia adalah seorang raja terbesar yang mendirikan kerajaan Medang yang pusat kerajaannya berada di sekitar Surabaya bagian selatan saat ini. Pada masa kekuasaannya raja Airlangga telah membangun setidaknya 33 prasasti sebagai bukti sejarah yang diinterpretasikan oleh para sejarawan sebagai bentuk legitimasi kekuasaan raja Airlangga di daerah kekuasaannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk mencaritahu dan menjelaskan tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pada masa pemerintahan raja Airlangga serta capaian-capaian yang dilakukan olehnya pada masa dinasti Isana.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metodologi sejarah meliputi: Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Penulisan Sejarah. Heuristik merupakan proses pengumpulan sumber sejarah. Kritik Sumber berguna untuk menentukan keotentikan sumber. Interpretasi adalah penafsiran dari sumber-sumber tersebut. Dan penulisan sejarah adalah proses merangkai peristiwa sejarah.
Penulisan ini mendapat kesimpulan bahwa pada masa pemerintahan raja Airlangga, ia telah melakukan beberapa capaian dalam beberapa bidang. Dalam bidang politik, raja Airlangga telah mampu mengembalikan wilayah raja sebelumnya bahkan mampu menguasai sebagian besar wilayah Jawa. Dalam bidang sosial, raja Airlangga menggunakan hak-hak istimewanya sebagai raja seperti pemberian gelar dan hadiah serta pembangunan prasasti di setiap momen penting sebagai cara melegitimasi kekuasaannya. Dalam bidang ekonomi, raja Airlangga menggunakan sistem pajak yang terukur guna mengatur perdagangan di wilayah kekuasaannya.
A.  Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
Sumber sejarah yang dapat diketahui berkenaan dengan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur adalah dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sindok, yaitu antara lain prasasti Turyyan (929 M), prasasti Gulung-Gulung (929 M), prasasti Linggasuntan (929 M) , prasasti Cunggrang (929 M) prasasti Jeru-Jeru (930 M) prasasti Wulig (935 M), prasasti Anjukladang (937 M), prasati Paradah (943 M), prasasti Muncang (944 M), serta masih banyak lagi hingga sekitar 20 buah prasasti.
Dari beberapa fakta sejarah Indonesia Kuno mengisyaratkan bahwa perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dilakukan pada sekitar perempat pertama abad X. timbul berbagai teori kemungkinan alasan perpindahan istana Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timut. Boechari memaparkan teori-teori pendahulunya, sebagai berikut:
a)    N.J. Krom: perpindahan pusat kerajaan tersebut terjadi pada kurun perempat awal abad X, dengan alasan yang tidak begitu jelas.
b)   B. Schrieke: yang menjadi penyebab kenapa pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur adalah karena pembangunan Candi Borobudur yang menghabiskan seluruhkejayaan kerajaan waktu itu yang sedand jaya-jayanya. Pembangunan Borobudur menyita banyak tenaga dari rakyat Mataram dan meninggalkan pekerjaan seperti bertani, berdagang dan aktivitas yang lainnya sehingga terjadilah migrasi missal ke Jawa Timur.
c)    J.G. de Casparis : akibat dari kemajuan perdagangan di Arab pada abad IX, terdapat perdagangan internasional di wilayah Nusantara. Yang meliputi bagian timur Indonesia yang berkomoditi rempah-rempah dan kayu cendana dan Jawa Timur penghasil pertanian mereka melakukan perdagangan dengan para saudagar asing dari Arab, Cina, India yang membuat wilayah Jawa Timur semakin makmur. Kekhawatiran Sriwijaya yang melihat kerajaan di Jawa TImur bisa menguasai kongsi perdagangan internasional dan memonopolinya membuat Sriwijaya melakukan penyerangan di Jawa 925 M, Sriwijaya mendarat di Jawa Timur dan bergerak sampai di Nganjuk, tetapi berhasil dipukul mundur oleh Pu Sindok dalam Prasasti Anjukladang 859 S/937 M. selain itu karena kemajuan perdagangan di Jawa Timur Raja Balitung, Daksa, Tulodong, dan Wawa member perhatian khusus pada Jawa Timur, dank arena ancama Sriwijaya pusat pemerintahan di tarik ke Jawa Timur.
d)   R.W. van Bemmelen: seorang ahli geologu mengindikasikan erupsi gunung Merapi di masa lalu membuat gempa dan hujan abu serta banjir lava, maka dipastikan di sekitar Merapi khususnya bagian barat dan selatan gunung hancur dan tertutup abu yang tebal. Van Bemmelen menghubungkan meletusnya gunung itu disebut pralaya, hancurnya kerajaag Teguh pada 1016 yang tersebut pada prasasti Pucangan. Jika benar Istana Mataram telah pindah ke delta brantas waktu itu, kemungkinan kecil Mataram tidak terpengaruh oleh letusan tersebut. Butuh data yang pasti untuk memastikan bencana tersebut jika menunjukkan sekitar perempat abad X sampai XI, kita bisa yakin erpindahan kekuasaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar 929 akibat letusan gunung Merapi.
e)    M. Boechari: perpindahan pusat kerajaan bagi sebuah kerajaan di Jawa pada masa lampau kiranya merupakan hal yang biasa terjadi. Kondisi semacam ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai terhadap adanya siklus dalam kehidupan ini. Keempat siklus tersebut adalah:
-       Kretayuga (zaman emas)
-       Tretayuga (zaman perak)
-       Dwaparayuga (zaman perunggu)
-       Kaliyuga (zaman besi)
Zaman Kaliyuga atau zaman besi is=dentik dengan zaman kehancuran, kekacauan, kemerosotan, dan sejenisnya. Kepercayaan tentang siklus inilah yang pada umumnya setelah terjadi malapetaka, maka istana baru harus segera dibangun. Untuk membangun istana baru tersebut tentunya tidak berada di istana lama. Istana lama dianggap sudah teraduk dengan kekacauan. Oleh karenanya dicaru sebuah mandala yang baru, pengakuan adana gunung suci yang baru, serta membangun candi istana yang baru sebagai tiruan dari Gunung Meru. Dari sebab itulah perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur hanya dapat dipahami apabila memang disebabkan oleh kejadian yang luar biasa. Yang menurut kepercayaan Jawa dipandang sebagai isyarat dewa yang mengharuskan sebuah pemerintahan untuk berakhir. Hal tersebut tidak ada pilihan lain bahwa itu adalah suatu bencana yang besar, semacam gempa bumi atau letusan gunung berapi, atau peristiwa yang dahsyat lainnya (Boechari, 1976).[1]
B.  Silsilah Airlangga
Menurut silsilah yang dibuatnya, Airlangga adalah keturunan Raja Pu Sindok, pendiri Dinasti Iśana yang memerintah Kerajaan Matarm Kuno di Jawa pda 929-948M, walaupun bukan keturunan langsung. Anank perempuan Pu Sindok, yaitu Sri Isanatunggawijaya menikah degan Sri Lokapala dan mempunyai anak Sri Makutawangsawardhana, kemudian Sri Makutawangsawardhana mempunyai anak Gunapriyadharmmapatni atau Mahendradatta yang menikah dengan Dharmmodayana, putra mahkota Dinasti Warmadewa dari Bali dan mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu. Pada usia 16 tahun ia dikirim ke Jawa untuk menikah dengan putrid Raja Dharmmawangsa Tguh. Bagian Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta menyebutkan bahwa tidak lama sesudah perayaan pernikahan Airlangga dengan putri raja, ibukota kerajaan diserbu oleh raja bawahan bernama Wurawari sehingga istana hancur. Putri bersama Dharmmawangsa Tguh meninggal dalam peperangan. Peristiwa ini disebut sebagai pralaya yang terjadi pada 1016.[2]
Airlangga berhasil lolos dari pembunuhan dan lari ke hutan bersama hambanya Narottama. Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno menyebutkan bahwa pada waktu serangan itu terjadi, Airlangga masih sangat muda dan belum berpengalaman dalam peperangan serta menggunakan alat-alat senjata. Tetapi karena penjelmaan Wisnu, maka ia tidak bisa binasa oleh kekuasaan mahapralaya. Airlangga tinggal di hutan di lereng gunung berteman dengan para pendeta yang suci kelakuannya dan seorang hamba setia, Narottama,. Selama tinggal di pertapaan itu ia hidup seperti layaknya para pertapa tersebut, memakai pakaian kulit kayu dan makan apa saja yang dimakan oleh pendeta.
Selama tinggal di hutan, Airlangga tidak pernah melupakan pemujaan kepada dewa-dewa siang dan malam. Sebab itu para dewa sangat besar cinta kasih kepadanya. Mereka berharap  agar ia memperoleh pohon keinginan untuk melindungi dunia, memperbaiki semua bangunan suci dan menghancurkan semua kekuatan jahat di dunia (Soemadio (ed), 1984: 176).
Pada 1019 (941 Saka) Airlangga direstui oleh para pendeta dan rakyat untuk menduduki tahta menjadi raja. Pada waktu itu kerajaannya berada dalam keadaan memprihatinkan, yaitu berjalan tanpa pemimpin dan mengalami krisis kepercayaan dari kerajaan-kerajaan bawahannya serta terancam perpecahan. Sebab itu, Airlangga sangat diharapkan dapat memperbaiki keadaan tersebut.
C.  Sistem Politik Masa Airlangga
Kerajaan-kerajaan kuno di Jawa tampaknya telah menyerap konsep-konsep kekuasaan yang diciptakan berdasarkan falsafah Hindu dan Buddha pada awal keberadaannya. Penerapan konsep politik tersebut telah dijumpai di banyak Prasasti Jawa Kuno, baik ungkapan tersirat maupun tersurat. Para ahli berpendapat bahwa meskipun masyarakat Jawa telah menyerap falsafah Hindu dan Buddha pada awal perkembangannya, pada tahap perkembangan di kemudian hari telah dilakukan penyempurnaan sedemikian rupa sesuai dengan epercayaan asli dan kebudayaan setempat hingga menjadi suatu konsep mengenai kekuasaan tradisional Jawa[3]
Seluruh masa pemerintahan Raja Airlangga dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu masa konsolidasi, keemasan dan akhir pemerintahan. Sesuia dengan isi Prasasti Pucangan yang berbahasa Sansekerta 1037 (959 Saka), pada 1019 (941 Saka) adalah saat Airlangga mendapat restu dari pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana untuk menduduki tahta menjadi raja menggantikan Raja Dharmmawangsa Tguh yang tewas di dalam peperangan melawan serangan Raja Wurawari[4].
Dalam membangun kembali kerajaan Dharmmawangsa Teguh yang sudah hancur, Airlangga terpaksa memerangi daerah-daerah yang pernah menjadi kekuasaan ayahnya. Pada mulanya, daerah kekuasaannya terbatas pada sebuah wilayah terbatas yang berlokasi di antara Surabaya dan Pasuruan. Pada 1022 M, ayah Airlangga meninggal di Bali dan saudaranya, Marakata, mewarisi wilayah Bali. Marakata yang meninggal pada 1025 M, digantikan oleh Anak Wungsu.
Selama satu decade ke depan, Airlangga perlahan meluaskan wilayahnya dengan harus mencaplok tetangga-tetangganya, memintaljala-jala kekuasaannya di Jawa Timur, dan membagi serta menetralkan para penantangnya satu persatu. Pada 1025 kesabarannya berbuah dengan dihancurkannya Sriwijaya oleh Rajendra Chola. Kesuksesan aksi militer yang tak terduga itu serta tertangkapnya Maharaja SriwijayaSangramaviyottunggavarman, yang kemudian dibawa ke India sebagai tawanan, telah membuat Airlangga mendapat keuntungan dengan hilangnya sebuah calon penentang yang sangat potensial.
Mengambil keuntungan dari suasana politik yang baru ini, Airlangga memulai aksi militernya pada 1028 M. Target pertamanya adalah Rakai Bhismaprabhava, yang ditaklukkannya dengan muslihat. Pada 1030 M, dia telah cukup kuat untuk menyerang Vijaya, Raja Wengket, namun kemenangan tidak sempurna. Pada 1031, dia mengalahkan seorang tuan tanah yang bernama Adhamapaduna seta membakar Kratonnya. Pada 1032 M, dia menantang seorang Ratu yang mendominasi Selatan Jawa. Prasasti Kalkuta menerangkan dalam bahasanya yang puitis bahwa selama masa aksi militer itu:
… dia membinasakan dan membakar Jawa Selatan dengan lidahnya bagai seekor ular api…
Pada 1035 M, untuk kedua kalinya dia mengalahkan Vijaya, yang dieksekusi oleh para punggawanya sendiri (boleh jadi mereka telah disuap untuk melakukannya).
Tak ada yang disebutkan tentang nasib dari Wunawari, meskipun prasasti itu menerangkan bahwa pada 1037 M, para musuh Airlangga telah ditundukkan melalui perang dan dengan muslihat. Diterangkan di prasati yang lain yang berasal dari Candi Pucangan bahwa:
… berjalan di atas kepala para musuhnya, dia mengambil tempat di tahta Singa, ditaburi dengan permata…[5]
D.    Sistem Sosial Masa Airlangga
Masyarakat Jawa Kuno telah mengenal adanya sistem kasta yang dikenal dalam agama Hindu, namun sistem tersebut tidak diberlakukan secara ketat, bahkan bisa dianggap sebagai hiasan teoritis dalam literature istana (De Casparis, 1985; Kartodirdjo, 1993;39). Kenyataan yang dijumpai di dalam masyarakat adalah mobilitas antar lapisan terjadi sedemikian rupa sehingga batas antara penguasa dan yang dikuasai, antar golongan sekuler dan golongan religius, antara golongan bebas dan budak-budak dapat ditembus[6].
Pada masa pemerintahan Raja Airlangga, disebut di dalam Prasasti Terep 1032 (954 Saka), bahwa raja telah memberi anugrah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong. Ia adalah seorang bangsawan daerah yang sangat berjasa membantu raja pada saat peperangan melawan musuh. Ia terus menerus melakukan doa kepada Bhatari untuk mohon kemenangan untuk raja. Untuk kesetiaannya itu, raja menghadiahkan gelar halu kepadanya, yaitu gelar tertinggi di struktur pemerintahan di bawah putra mahkota. Seorang lagi yang memperoleh hak istimewa adalam\h Narottama. Yaitu seorang hamba yang setia terhadap raja Airlangga sejak peristiwa Pralaya. Oleh sebab kesetiaannya Airlangga memberinya gelar Rakai Kanuruhan.
Hak istimewa yang dianugerahkan oleh raja karena suatu alasan tertentu dapat berbentuk macam-macam, kecuali bentuk penganugerahan gelar seperti yang dialami Rakryan Pangkaja Dyah Tumambong dan Rakai Kanuruhan Pu Dharmmamurtti Narottama. Hak-hak istimewa dapat berupa gaya hidup, misalnya diperbolehkan memakai jenis-jenis pakaian atau perhiasan tertentu, melakukan kegiatan-kegiatan tertentudi depan umum, memiliki rumah dengan cirri-ciri tertentu, memakan makanan istimewa, memiliki tempat duduk, balai-balai, paying dan lain-lain yang istimewa (Sedyawati, 1994; 297-301)
E.     Sistem Ekonomi Masa Airlangga
Lima Prasasti, yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga, memberikan keterangan mengenai kegiatan perekonomian yang tersurat di dalm bagian prasasti yang memuat ketentuan pajak perdagangan setelah suatu daerah dijadikan Sima. Hal ini dapat menjelaskan pada kita mengenai jenis-jenis barang yang diperdagangkan, pelaku ekonomi dan sarana yang ada pada masa tersebut.
Di dalam prasasti Cane 1021 (943 Saka) disebutkan bahwa setelah daerah Cane dan sekitarnya dikjadikan Sima, maka mendapat pembebasan pajak perdaganagan diantaranya adalah
1. penjualan kerbau sampai sebatas 20 ekor
2. penjualan sapi atau kebau sampai sebatas 40 ekor
3. penjualan kambing sampai sebatas 80 ekor
4. Penjualan bebek sampai sebatas sekandang (Sawantayan)
5. barang-barang dagangan yang dijajakn dengan dipikul yaitu tidak boleh lebih dari lima bantalan setiap jenis barang yakni:
-          Abasanan
-          Atukel
-          Manunjai
-          Manawari
-          Makapas(penjual kapas)
-          Mawunkudu(penjual mengkudu)
-          Abalanten
-          Penjual timah
-          Penjual perunggu
-          Penjual eceran (abakul)
-          Amankur
-          Penjual gula
-          Penjual sereh
-          Penjual beras
-          Penjual warna (kasumbha)
Prasasti Baru menyebutkan ketentuan yang agak berbeda, yaitu pejabat Desa Baru berhak berdagang sebanyak-banyaknya dua orang untuk setiap jenis dagangan serta berhak mempunyai budak berupa dayan, hunjman, nimbi, jengi pujut dan semua jenis lainnya. Prasasti Gandhakuti lebih singkat dan tegas menjelaskannya yaitu memborong (Anulan) sapi, kerbau dan kambing hanya sebatas satu koordinatot (Tuhan) saja. Demikian pula pedagang yang berdagang dengan perahu, para pandai, tukang kayu dan amalanten hanya sebatas satu tuhan saja[7].



[1] Suwardono,  Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, (Yogyakarta: Penerbit OMBAK, 2013) Hal. 117
[2] Ninie Susanti, AIRLANGGA Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI, (Bandung: Komunitas Bambu, 2010), hal. 3
[3] Nini Susanti Julianto, Indonesia dalam Arus Sejarah II, (Jakarta: PT Ichtiar  Baru Van Hoeve, 2012) Hal.194
[4] Ninie Susanti, Airlangga Biografi Pembaru Jawa Abad XI, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010) Hal. 85
[5] Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009) Hal. 348
[6] Op., Cit., Hal. 119
[7] Ibid., Hal. 114